Jakarta – Isu mengenai mekanisme impor bahan bakar minyak (BBM) kembali mencuat setelah adanya kebijakan pemerintah terkait penyaluran pasokan ke SPBU swasta melalui PT Pertamina (Persero). Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Nurdin Halid, menegaskan bahwa mekanisme satu pintu ini tidak bisa disebut sebagai monopoli, melainkan sebuah langkah strategis untuk menjaga ketahanan energi nasional.
“Dengan mekanisme ini, tidak ada indikasi monopoli. Justru yang ada adalah upaya kolaboratif menjaga pasokan energi nasional tetap aman dan terkendali,” ujar Nurdin dalam siaran pers, Senin (22/9/2025).
Kuota Impor BBM dan Mekanisme Baru
Pada tahun 2025, pemerintah telah memberikan kuota impor BBM sebesar 1,1 juta kiloliter kepada SPBU swasta. Jumlah ini bahkan meningkat sekitar 110 persen dari kuota tahun sebelumnya yang hanya 1 juta kiloliter.
Namun, ketika kuota tersebut habis, SPBU swasta tidak bisa secara bebas melakukan impor tambahan. Sebagai gantinya, mekanisme yang berlaku adalah membeli base fuel (bahan bakar dengan kadar oktan murni tanpa campuran aditif) langsung dari Pertamina. Kesepakatan ini, menurut Nurdin, sudah menjadi bagian dari langkah strategis dalam pengelolaan energi.
Amanat Konstitusi dan Ekonomi Pancasila
Lebih jauh, Nurdin mengaitkan kebijakan ini dengan amanat konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945. Menurutnya, sektor energi termasuk BBM merupakan cabang produksi yang sangat vital karena menyangkut hajat hidup orang banyak.
“BBM adalah kebutuhan pokok rakyat. Karena itu, negara wajib hadir sebagai pengendali utama melalui Pertamina. Kebijakan impor BBM melalui Pertamina sepenuhnya selaras dengan mandat konstitusi dan semangat Ekonomi Pancasila,” jelas Nurdin.
Ia menilai, kritik yang menyebut kebijakan tersebut sebagai bentuk pembatasan pasar bebas terlalu melihat dari sudut pandang parsial. Ekonomi Pancasila, kata dia, selalu menekankan keseimbangan: antara efisiensi usaha dengan pemerataan manfaat.
Risiko Jika Impor Dibuka Bebas
Dalam pandangan Nurdin, membebaskan impor BBM sepenuhnya kepada SPBU swasta, apalagi kepada pihak asing, dapat berisiko terhadap stabilitas pasokan energi nasional.
“Jika impor dibebaskan sepenuhnya, kendali pasokan energi bisa lepas dari tangan negara. Itu berbahaya, apalagi di tengah ketidakpastian geopolitik global,” tegasnya.
Kebijakan satu pintu melalui Pertamina, menurutnya, justru menjadi benteng agar distribusi energi tetap terkendali dan tidak mudah goyah ketika ada gejolak di pasar internasional.
Soal Kelangkaan di SPBU Swasta
Belakangan, beberapa SPBU swasta sempat mengalami keterbatasan pasokan yang berujung pada antrian panjang di sejumlah daerah, khususnya Jabodetabek. Namun, Nurdin menilai, gangguan tersebut lebih banyak disebabkan oleh persoalan internal perusahaan swasta, bukan karena keterbatasan stok nasional.
“Gangguan distribusi di beberapa SPBU swasta di Jabodetabek jangan dipelintir menjadi isu pasokan nasional. Faktanya, stok nasional aman dan terkendali. DPR RI akan terus mengawal kebijakan ini agar energi untuk rakyat tetap tersedia dan terjangkau,” jelasnya.
Pandangan Pemerintah
Sejalan dengan pernyataan DPR, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa pemerintah sudah sejak awal tahun memberikan kuota impor kepada SPBU swasta. Jika kuota tersebut sudah digunakan, maka opsi yang tersedia adalah berkolaborasi dengan Pertamina untuk memenuhi kebutuhan tambahan.
Dengan kata lain, mekanisme satu pintu ini bukan bentuk pembatasan, melainkan jalan tengah agar distribusi energi tetap stabil, harga bisa dikendalikan, dan ketahanan energi nasional tetap terjaga.
Polemik impor BBM satu pintu lewat Pertamina sebenarnya bukan soal monopoli, melainkan strategi pengendalian. Negara tetap hadir sebagai pengendali utama, sementara swasta tetap diberikan ruang untuk berperan, namun dalam kerangka kolaborasi.
Di tengah kondisi global yang penuh ketidakpastian, langkah ini dipandang sebagai upaya menjaga kepentingan bangsa, memastikan stok BBM tetap aman, serta melindungi masyarakat dari potensi gejolak harga dan pasokan.
0 Komentar