Burden Sharing untuk Program Prabowo Menuai Kritik: Ancaman Inflasi hingga Turunnya Kredibilitas Fiskal

 Jakarta – Kebijakan burden sharing antara Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kembali menuai sorotan tajam. Skema ini digunakan untuk mendanai program prioritas Presiden Prabowo Subianto, terutama proyek Perumahan Rakyat serta Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kel) Merah Putih.

Melalui mekanisme pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder, realisasi burden sharing dikabarkan telah mencapai Rp 200 triliun. Namun, sejumlah ekonom menilai langkah ini berbahaya karena dilakukan bukan dalam kondisi krisis, berbeda dengan penerapan sebelumnya pada masa pandemi COVID-19.

Kritik Ekonom: “BI Kembali Seperti Era Orde Baru”

Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai burden sharing kali ini justru mengikis independensi BI yang seharusnya menjadi pilar utama menjaga stabilitas moneter.

“Burden sharing dilakukan tidak pada saat krisis (kecuali memang pemerintah dan BI menganggap saat ini kondisi krisis),” tegas Bhima.

Ia mengingatkan bahwa pola ini mengingatkan pada Dewan Moneter era Orde Baru, di mana keputusan moneter sepenuhnya mengikuti kebijakan pemerintah. Padahal, sejak tahun 1999, BI resmi menjadi bank sentral independen.

Bhima juga memperingatkan potensi inflasi akibat peningkatan jumlah uang beredar tanpa diiringi kenaikan permintaan riil. Kondisi ini bisa menekan stabilitas keuangan jangka panjang, termasuk neraca BI.

“Rating utang pemerintah (sovereign bond rating) terancam downgrade karena BI membiayai program bermasalah, terutama Kopdes MP (Merah Putih),” lanjutnya.

Beban Moneter Menggantikan Peran Fiskal

Senada, ekonom Nailul Huda dari CELIOS menyebut burden sharing justru melemahkan disiplin fiskal pemerintah.

“Dengan melakukan burden sharing, kewajiban pemerintah menjaga kesehatan fiskal jadi luntur dan dibebankan kepada BI,” jelas Nailul.

Menurutnya, BI seharusnya fokus pada stabilitas moneter, bukan ikut menanggung utang pemerintah. Fiskal, lanjutnya, harus dikelola dengan lebih hati-hati lewat penghematan dan efisiensi anggaran, kecuali memang terjadi situasi darurat.

Ia membandingkan dengan masa pandemi COVID-19, ketika burden sharing masih relevan karena aktivitas swasta lumpuh dan masyarakat butuh bantuan langsung. Kondisi saat ini, menurutnya, berbeda karena perekonomian masih bergerak.

Risiko Utang dan Ancaman Cetak Uang

Nailul juga menyoroti risiko dari program yang dibiayai. Menurutnya, baik perumahan rakyat maupun Kopdes MP memiliki potensi kerugian tinggi. Dengan skema ini, BI berisiko menanggung kerugian yang seharusnya ditanggung pemerintah.

“Ketika program berisiko tinggi ini dibiayai utang, maka risikonya bukan hanya sekarang, tapi juga fiskal ke depan. Bunga utang akan semakin besar, kapasitas fiskal untuk kebijakan pro rakyat makin sempit,” jelasnya.

Ia bahkan menilai ada indikasi BI akan mencetak uang baru ketika cadangan kas tak lagi mencukupi.

“Strategi ini nampaknya BI akan manfaatkan kas dulu, tapi kalau habis, ya mencetak uang,” ujarnya.

Sejarah Burden Sharing: Dari Pandemi ke Era Prabowo

Skema burden sharing pertama kali populer saat pandemi COVID-19. Saat itu, pemerintah menerbitkan SBN dengan bunga yang kemudian dikembalikan BI sebagai bentuk kontribusi moneter. Sederhananya, ini adalah cara tidak langsung untuk mencetak uang demi mendukung belanja fiskal darurat.

Kini, pola serupa dipakai lagi, tapi untuk membiayai program pembangunan. Hal inilah yang memicu perdebatan: apakah BI seharusnya kembali ke peran “alat fiskal” pemerintah, atau tetap menjaga independensinya sebagai bank sentral?

Dampak Jangka Panjang

Banyak ekonom mengingatkan bahwa jika burden sharing terus dipakai di luar kondisi krisis, konsekuensinya bisa serius:

  • Inflasi meningkat karena bertambahnya likuiditas tanpa peningkatan output riil.

  • Independensi BI tergerus, berpotensi mengembalikan pola lama seperti era Orde Baru.

  • Risiko fiskal meningkat, karena beban bunga utang makin besar.

  • Kredibilitas fiskal terancam, yang bisa memicu penurunan peringkat utang Indonesia di mata investor global.

Dengan situasi ini, publik menunggu bagaimana langkah BI dan Kemenkeu menyeimbangkan kebutuhan pembiayaan program pemerintah tanpa mengorbankan stabilitas moneter jangka panjang.

Posting Komentar

0 Komentar

  • RINDUSLOT

  • RINDUSLOT

  • RINDUSLOT

  • RINDUSLOT

  • RINDUSLOT

  • RINDUSLOT